On The Quest to Live with Less

September 16, 2018

For the last 3 weeks I've been on a decluttering mode. Setiap weekend fokusnya pasti ke beres-beres, begitu juga setiap pulang kantor. Soalnya kalo nggak langsung dikerjain berturut-turut pasti udah keburu lupa atau nggak sempet lagi. Akhir-akhir ini ngerasa banget sih kalo barang di rumah kok makin banyak aja sihhh, padahal rumahnya dari sisi ukuran kan cukup minimalis, jadi berasa banget kalo ada tambahan barang. Trus suka ngerasa 'kayanya udah perlu ya mulai mikirin pindah rumah yang lebih besar'. Tuh kan jadinya malah kaya gak ngerasa bersyukur dengan apa yang dipunya sekarang. Padahal bukan spacenya yang nggak ada, tapi memang barangnya yang kebanyakan.

Gue pernah nulis juga di postingan2 sebelumnya tentang decluttering, live with less, dll. Jadi memang dari dulu udah tertarik banget sebenernya dengan yang namanya hidup minimalis. Bukan hanya dari sisi estetikanya tapi juga lifestylenya.




Emang minimalism itu apa sih kak? 

Gue paling setuju dengan definisinya the minimalists.com, websitenya Joshua & Ryan, yang bilang bahwa minimalism is a tool that can assist you in finding freedom. Freedom from fear. Freedom from worry. Freedom from overwhelm. Freedom from guilt. Freedom from depression. Freedom from the trappings of the consumer culture we've built our lives around. Real freedom.

Image from homemydesign.com


Pastinya, minimalism juga berarti removing the excess that don't bring value to our life. The first step is usually around eliminating, decluttering, letting go of stuff because most of the time, only when you have less stuff and a nice, clean surroundings you can have room for the the important things, look inward to yourself, hear and see things you don't usually take notice and generally less stress.

Minimalism juga banyak banget sih tipenya. Ada yang memang hanya mau punya barang nggak lebih dari 100. Barang lho ya, bukan baju :D. Ada yang namanya Project 333, living with 33 clothes for 3 months. Ada juga yang seperti Fumio Sasaki, penulis buku Goodbye Things,  yang seisi rumahnya bisa dimasukin ke koper hanya dalam 20 menit.

Apapun aliran minimalism yang mereka anut, intinya mereka merasa apa yang mereka miliki sekarang adalah barang-barang yang berfaedah. Mereka tau apa aja yang ada di rumah mereka, tau fungsi masing-masing barang dan semuanya sering digunakan (mungkin kecuali seasonal clothes, koper, etc), produk yang mereka gunakan juga biasanya kualitasnya bagus supaya long lasting dan menyenangkan untuk dipakai, rumahnya selalu rapi, gampang cari barang dan mereka nggak obsessed dengan belanja.

Tersiksa nggak sih hidup seperti itu? Mungkin ada yang berpikir kok kayanya itu nggak seru ya. Gue sendiri melihat itu sebagai sesuatu yang liberating banget sih, seperti kata Joshua dan Ryan di atas tadi. Pertama yang gue kagum adalah they know their material posessions have nothing to do with their self worth. They are not the sum of their belongings. Nggak perlu beli sesuatu atau pakai sesuatu untuk bikin orang lain impressed. Nggak kena pressure dari social media untuk selalu memperlihatkan barang-barang terbaru. They have a very good self concept, they know their life purpose and they are very focus on how to achieve it.

Kedua yang gue kagum juga adalah they have full control of their own house and material, they know every single thing they own and where they put it, nggak diribetin dengan urusan beberes, nggak pernah stress liat rumah berantakan, nggak ngerasa malu kalo ada tamu datang dan rumahnya kaya kapal pecah. Untuk maintenance sehari-hari seperti nyapu, ngepel juga lebih gampang karena nggak banyak perintilan yang akan ditempel debu. Mereka nggak ngerasa bersalah juga karena udah belanja yang nggak penting atau punya barang tapi nggak pernah dipakai padahal barang tersebut akan lebih berguna untuk orang lain. Dan bonusnya adalah, mereka jadi hidup lebih tenang, lebih punya banyak waktu untuk olahraga misalnya, ngumpul sama keluarga dan teman-teman, karena jadi jarang beli barang mereka jadi punya budget untuk hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman seperti traveling, makan enak, nyenengin orang lain, mulai menggeluti passionnya atau ditabung. Mereka hidup lebih sehat juga karena rumahnya super bersih.



Ketiga, biasanya kalo udah hidup minimalis mereka akan lebih aware dengan lingkungan, akan mengurangi sampah-sampah plastik, pake barang-barang yang reusable dan juga mengurangi penggunaan chemical. Bahkan ada lho yang memang prinsip hidupnya adalah ZERO WASTE. Coba lihat Lauren dari Trash is for Tossers, dalam EMPAT TAHUN sampah yang dia hasilkan cuma 1 toples aja. Bok, sampah gue sendiri sehari aja udah lebih dari itu. Bayangin aja kalo dalam sehari kita pesen makanan dan minuman dari Go Food kan pasti tempat makanan, plastik dan sendok plastiknya akan jadi sampah, trus ada sampah packaging dari online shop/belanjaan, bungkus2 cemilan/permen/coklat, tissue, panty liners/pembalut, receipt belanjaan, mungkin rokok kalo yang ngerokok dan masih banyak lagi yang nggak kita sadarin akan menuh-menuhin tempat pembuangan sampah, ngerusak bumi, memperbanyak masalah yang nantinya anak cucu kita yang harus ngeberesin atau kena dampaknya.

Intinya they live a very conscious and intentional living.





Salah satu inspirasi gue adalah Steve Jobs. I admire him for creating products and company that are LOVED by a lot of people around the world. Apple products are built around the concept of minimalism and that's why it's such a joy to use karena stylenya simple, very intuitive dan memang menyenangkan untuk dipakai. Steve Jobs has the ability to master detail while still focusing on the big picture. Something that I find it hard to balance. And you know what? Steve Jobs itu hidupnya minimalis sekali lho. He wears the same black long sleeve turtle neck everyday! Yep seperti halnya Mark Zuckerberg yang memakai t-shirt abu-abu setiap harinya. Simple, nggak pake mikir, gak usah bete pagi2 cari baju nggak ada yang ok atau nggak ada yang muat. Minimize decision fatique so you can make a better decision on the important things. Rumahnya Steve Jobs juga minimalis, ada masanya beberapa tahun dia nggak punya sofa karena dia nggak nemu sofa yang bener-bener dia mau. For him, if it's not a HELL YES then it's a NO. Waktu dia beli mesin cuci juga banyak sekali yang dia pertimbangkan. Dan akhirnya dia beli mesin cuci yang mahal tapi hanya memakai resource (listrik, air) sedikit supaya nggak menghabiskan energi yang udah terbatas ini. He is also into meditating, very zen - like, makanya bisa fokus menghasilkan karya-karya yang fantastis.

Ada banyak lagi yang hidup minimalis. Tau sepatu TOMS? Foundernya, Blake Mycoskie pernah tinggal di boat selama 2 tahun. "I learned that you do not need much to be happy, and that the best sounds in life are the wind, waves and quietness. I also found that living in small spaces is good for big creative thinking". Keputusan untuk launching TOMS eyewear, one for one business model nya juga dia dapatkan inspirasinya waktu masih tinggal di boat.

Nadya Hutagalung is also one of my inspirations. Selalu senang liat foto-foto dan postingannya yang jauh dari konsumerisme, baju-bajunya pun terlihat sederhana dan seringnya pakai kaos putih aja. Ya namanya juga Nadya Hutagalung sih pake baju gembel pun akan terlihat keren! She is always very close to nature, her house is eco-friendly, she eats healthy food, live a healthy life dan selalu menikmati waktu dengan anak-anaknya dengan cara yang sangat sederhana. Living in the moment. Living mindfully.

Ada banyak banget yang gue pelajari dan mau gue share dalam 3 minggu belakangan ini ke depannya. Kalo kalian tertarik dengan minimalism, udah banyak kok referensinya, and please share them to me too yaaa! Ini ada beberapa yang pernah gue baca atau di rekomendasiin teman2 di Instagram. Yang di bold berarti gue udah baca/nonton.

Books
- Marie Kondo, The Life-Changing Magic of Tidying Up
- Fumio Sasaki, Goodbye Things
- Marie Kondo, Spark Joy
- Greg McKeown, Essentialism; The Disciplined Pursuit of Less
- Joshua & Ryan, Everything that Remains
- Francine Jay, The Joy of Less
- Bea Johnson, Zero Waste Home

Movies
- Minimalism, A Documentary About The Important Things
- The True Cost. Pernah gue bahas di sini.
- Thrive with Less
- Food, Inc.

Others
- Blog, Trash is for Tossers
- Podcast, Subjective Hidup Minimalis




Seperti yang gue tulis di note tahun baru kemaren, tujuan tahun ini adalah meminimalisir distraction. Letting go of things that are not in line with what I want in life. I want to be able to listen to my heart clearly, to sharpen my intuition, to be a better version of myself in all aspects of life. And that clarity can only be achieved when I live in a clutter free environment. 

Wish me luck, guys. Will share more soon :)

You Might Also Like

6 comments

  1. Aku juga lagi dalam proses yang sama, kak Han! almost all the sources mentioned udh pernah ak baca, kecuali yg podcast bahasa indonesia itu, sepertinya menarik ya. salah satu penyampaian mengenai minimalism yg aku suka yaitu 2 TEDx speeches dari si Joshua & Ryan, cara deliver nya menarik dan pesannya sampai. Gud luck on your journey btw! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku pernah nonton documentarynya mereka tapi nggak pernah dengerin TEDx speechesnya sih. Will do this weekend. Thank you ya Lanny :)

      Delete
  2. aku pun lagi seneng banget sama ide ide minimalism ini!!
    yg di bold itu pun udah pada aku baca dan tonton mbak....
    dan emang setelah declutering jd lebih aware sama lingkungan yg berujung jadi diet plastik XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. yayy, seneng kalo ketemu yang journeynya sama :)

      Delete
  3. Setuju, Han! Hal yang paling susah diberesin kalo aku adalah buku. Because I love ALL of them hehehe

    ReplyDelete